Selasa, 03 Desember 2013

KEWIRAUSAHAAN

SEJARAH KEWIRAUSAHAAN

Wirausaha secara historis sudah dikenal sejak diperkenalkan oleh Richard Castillon pada tahun 1755. Di luar negeri, istilah kewirausahaan telah dikenal sejak abad 16, sedangkan di Indonesia baru dikenal pada akhir abad 20. Beberapa istilah wirausaha seperti di Belanda dikenadengan ondernemer, di Jerman dikenal dengan unternehmer. Pendidikan kewirausahaan mulai dirintis sejak 1950-an di beberapa negara seperti Eropa, Amerika, dan Kanada. Bahkan sejak 1970-an banyak universitas yang mengajarkan kewirausahaan atau manajemen usaha kecil. Pada tahun 1980-an, hampir 500 sekolah di Amerika Serikat memberikan pendidikan kewirausahaan. DI Indonesia, kewirausahaan dipelajari baru terbatas pada beberapa sekolah atau perguruan tinggi tertentu saja. Sejalan dengan perkembangan dan tantangan seperti adanya krisis ekonomi, pemahaman kewirausahaan baik melalui pendidikan formal maupun pelatihan-pelatihan di segala lapisan masyarakat kewirausahaan menjadi berkembang

DEFINISI KEWIRAUSAHAAN
Kewirausahaan (Inggris: Entrepreneurship) atau Wirausaha adalah proses mengidentifikasi, mengembangkan, dan membawa visi ke dalam kehidupan. Visi tersebut bisa berupa ide inovatif, peluang, cara yang lebih baik dalam menjalankan sesuatu.Hasil ak hir dari proses tersebut adalah penciptaan usaha baru yang dibentuk pada kondisi risiko atau ketidakpastian.
Kewirausahaan memiliki arti yang berbeda-beda antar para ahli atau sumber acuan karena berbeda-beda titik berat dan penekanannya. Richard Cantillon (1775), misalnya, mendefinisikan kewirausahaan sebagai bekerja sendiri (self-employment). Seorang wirausahawan membeli barang saat ini pada harga tertentu dan menjualnya pada masa yang akan datang dengan harga tidak menentu.  Jadi definisi ini lebih menekankan pada bagaimana seseorang menghadapi risiko atau ketidakpastian.  Berbeda dengan para ahli lainnya, menurut Penrose (1963) kegiatan kewirausahaan mencakup indentfikasi peluang-peluang di dalam sistem ekonomi sedangkan menurut Harvey Leibenstein (1968, 1979) kewirausahaan mencakup kegiatan yang dibutuhkan untuk menciptakan atau melaksanakan perusahaan pada saat semua pasar belum terbentuk atau belum teridentifikasi dengan jelas, atau komponen fungsi produksinya belum diketahui sepenuhnya dan menurut Peter Drucker, kewirausahaan adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda. Orang yang melakukan kegiatan kewirausahaan disebut wirausahawan. Muncul pertanyaan mengapa seorang wirausahawan (entrepreneur) mempunyai cara berpikir yang berbeda dari manusia pada umumnya. Mereka mempunyai motivasi, panggilan jiwa, persepsi dan emosi yang sangat terkait dengan nilai nilai, sikap dan perilaku sebagai manusia unggul.

ETIMOLOGI          

Kewirausahaan berasal dari kata wira dan usaha.  Wira berarti pejuang, pahlawan, manusia unggul, teladan, berbudi luhur, gagah berani dan berwatak agung. Usaha adalah perbuatan amal, bekerja, dan berbuat sesuatu. Jadi wirausaha adalah pejuang atau pahlawan yang berbuat sesuatu.

PROSES KEWIRAUSAHAAN

Menurut Carol Noore yang dikutip oleh Bygrave, proses kewirausahaan diawali dengan adanya inovasi. Inovasi tersebut dipengeruhi oleh berbagai faktor baik yang berasal dari pribadi maupun di luar pribadi, seperti pendidikan, sosiologi, organisasi, kebudayaan dan lingkungan. Faktor-faktor tersebut membentuk ‘’locus of control’’, kreativitas, keinovasian, implementasi, dan pertumbuhan yang kemudian berkembangan menjadi wirausahawan yang besar.  Secara internal, keinovasian dipengaruhi oleh faktor yang bersal dari individu, seperti locus of control, toleransi, nilai-nilai, pendidikan, pengalaman. Sedangkan faktor yang berasal dari lingkungan yang memengaruhi diantaranya model peran, aktivitas, dan peluang. Oleh karena itu, inovasi berkembang menjadi kewirausahaan melalui proses yang dipengaruhi lingkungan, organisasi, dan keluarga.

CIRI-CIRI DAN SIFAT KEWIRAUSAHAAN

Untuk dapat mencapai tujuan yang diharapkan, maka setiap orang memerlukan ciri-ciri dan juga memiliki sifat-sifat dalam kewirausahaan. Ciri-ciri seorang wirausaha adalah:
  • Percaya diri
  • Berorientasikan tugas dan hasil
  • Berani mengambil risiko
  • Kepemimpinan
  • Keorisinilan
  • Berorientasi ke masa depan
  • Jujur dan tekun
Sifat-sifat seorang wirausaha adalah:
  • Memiliki sifat keyakinan, kemandirian, individualitas, optimisme.
  • Selalu berusaha untuk berprestasi, berorientasi pada laba, memiliki ketekunan dan ketabahan, memiliki tekad yang kuat, suka bekerja keras, energik dan memiliki inisiatif.
  • Memiliki kemampuan mengambil risiko dan suka pada tantangan.
  • Bertingkah laku sebagai pemimpin, dapat bergaul dengan orang lain dan suka terhadap saran dan kritik yang membangun.
  • Memiliki inovasi dan kreativitas tinggi, fleksibel, serba bisa dan memiliki jaringan bisnis yang luas.
  • Memiliki persepsi dan cara pandang yang berorientasi pada masa depan.
  • Memiliki keyakinan bahwa hidup itu sama dengan kerja keras.

TAHAP-TAHAP KEWIRAUSAHAAN

Secara umum tahap-tahap melakukan wirausaha:

Tahap memulai

Tahap di mana seseorang yang berniat untuk melakukan usaha mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan, diawali dengan melihat peluang usaha baru yang mungkin apakah membuka usaha baru, melakukan akuisisi, atau melakukan ‘’franchising’’tahap ini juga memilih jenis usaha yang akan dilakukan apakah di bidang pertanian, industri, atau jasa.

Tahap melaksanakan usaha

Dalam tahap ini seorang wirausahawan mengelola berbagai aspek yang terkait dengan usahanya, mencakup aspek-aspek: pembiayaan, SDM, kepemilikan, organisasi, kepemimpinan yang meliputi bagaimana mengambil risiko dan mengambil keputusan, pemasaran, dan melakukan evaluasi.

Tahap mempertahankan usaha

Tahap di mana wirausahawan berdasarkan hasil yang telah dicapai melakukan analisis perkembangan yang dicapai untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kondisi yang dihadapi.
Tahap mengembangkan usaha
Tahap di mana jika hasil yang diperoleh tergolong positif atau mengalami perkembangan atau dapat bertahan maka perluasan usaha menjadi salah satu pilihan yang mungkin diambil.

SIKAP WIRAUSAHA

Dari daftar ciri dan sifat watak seorang wirausahawan di atas, dapat kita identifikasi sikap seorang wirausahawan yang dapat diangkat dari kegiatannya sehari-hari, sebagai berikut:
·         Disiplin
Dalam melaksanakan kegiatannya, seorang wirausahawan harus memiliki kedisiplinan yang tinggi. Arti dari kata disiplin itu sendiri adalah ketepatan komitmen wirausahawan terhadap tugas dan pekerjaannya. Ketepatan yang dimaksud bersifat menyeluruh, yaitu ketepatan terhadap waktu, kualitas pekerjaan, sistem kerja dan sebagainya. Ketepatan terhadap waktu, dapat dibina dalam diri seseorang dengan berusaha menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan waktu yang direncanakan. Sifat sering menunda pekerjaan dengan berbagai macam alasan, adalah kendala yang dapat menghambat seorang wirausahawan meraih keberhasilan. Kedisiplinan terhadap komitmen akan kualitas pekerjaan dapat dibina dengan ketaatan wirausahawan akan komitmen tersebut. Wirausahawan harus taat azas. Hal tersebut akan dapat tercapai jika wirausahawan memiliki kedisiplinan yang tinggi terhadap sistem kerja yang telah ditetapkan. Ketaatan wirausahawan akan kesepakatan-kesepakatan yang dibuatnya adalah contoh dari kedisiplinan akan kualitas pekerjaan dan sistem kerja.
·         Komitmen Tinggi
Komitmen adalah kesepakatan mengenai sesuatu hal yang dibuat oleh seseorang, baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Dalam melaksanakan kegiatannya, seorang wirausahawan harus memiliki komitmen yang jelas, terarah dan bersifat progresif (berorientasi pada kemajuan). Komitmen terhadap dirinya sendiri dapat dibuat dengan identifikasi cita-cita, harapan dan target-target yang direncanakan dalam hidupnya. Sedangkan contoh komitmen wirausahawan terhadap orang lain terutama konsumennya adalah pelayanan prima yang berorientasi pada kepuasan konsumen, kualitas produk yang sesuai dengan harga produk yang ditawarkan, penyelesaian bagi masalah konsumen, dan sebagainya.Seorang wirausahawan yang teguh menjaga komitmennya terhadapkonsumen, akan memiliki nama baik di mata konsumen yang akhirnya wirausahawan tersebut akan mendapatkan kepercayaan dari konsumen, dengan dampak pembelian terus meningkat sehingga pada akhirnya tercapai target perusahaan yaitu memperoleh laba yang diharapkan.
·         Jujur
Kejujuran merupakan landasan moral yang kadang-kadang dilupakan oleh seorang wirausahawan. Kejujuran dalam berperilaku bersifat kompleks. Kejujuran mengenai karakteristik produk (barang dan jasa) yang ditawarkan, kejujuran mengenai promosi yang dilakukan, kejujuran mengenai pelayanan purnajual yang dijanjikan dan kejujuran mengenai segala kegiatan yang terkait dengan penjualan produk yang dilakukan olehwirausahawan.
·         Kreatif dan Inovatif
Untuk memenangkan persaingan, maka seorang wirausahawan harus memiliki daya kreativitas yang tinggi. Daya kreativitas tersebut sebaiknya dilandasi oleh cara berpikir yang maju, penuh dengan gagasan-gagasan baru yang berbeda dengan produk-produk yang telah ada selama ini di pasar. Gagasan-gagasan yang kreatif umumnya tidak dapat dibatasi oleh ruang, bentuk ataupun waktu. Justru seringkali ide-ide jenius yangmemberikan terobosan-terobosan baru dalam dunia usaha awalnya adalah dilandasi oleh gagasan-gagasan kreatif yang kelihatannya mustahil.
·         Mandiri
Seseorang dikatakan “mandiri” apabila orang tersebut dapat melakukan keinginan dengan baik tanpa adanya ketergantungan pihak lain dalammengambil keputusan atau bertindak, termasuk mencukupi kebutuhan hidupnya, tanpa adanya ketergantungan dengan pihak lain. Kemandirian merupakan sifat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang wirausahawan. Pada prinsipnya seorang wirausahawan harus memiliki sikap mandiri dalam memenuhi kegiatan usahanya.
·         Realistis
Seseorang dikatakan realistis bila orang tersebut mampu menggunakan fakta/realita sebagai landasan berpikir yang rasional dalam setiap pengambilan keputusan maupun tindakan/ perbuatannya. Banyak seorang calon wirausahawan yang berpotensi tinggi, namun pada akhirnya mengalami kegagalan hanya karena wirausahawan tersebut tidak realistis, obyektif dan rasional dalam pengambilan keputusan bisnisnya. Karena itu dibutuhkan kecerdasan dalam melakukan seleksi terhadap masukan-masukan/ sumbang saran yang ada keterkaitan erat dengan tingkat keberhasilan usaha yang sedang dirintis.

SUMBER : http://id.wikipedia.org/wiki/Kewirausahaan

Selasa, 25 Juni 2013

UU. Lingkungan Hidup



Menurut Undang Undang No. 23 Tahun 1997, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Sedangkan ruang lingkup lingkungan hidup Indonesia meliputi ruang, tempat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berWawasan Nusantara dalam melaksanakan kedaulatan, hak berdaulat, dan yurisdiksinya.
Dalam lingkungan hidup terdapat ekosistem, yaitu tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup.
Merujuk pada definisi di atas, maka lingkungan hidup Indonesia tidak lain merupakan Wawasan Nusantara, yang menempati posisi silang antara dua benua dan dua samudera dengan iklim tropis dan cuaca serta musim yang memberikan kondisi alamiah dan kedudukan dengan peranan strategis yang tinggi nilainya, tempat bangsa Indonesia menyelenggarakan kehidupan bernegara dalam segala aspeknya. Secara hukum maka wawasan dalam menyelenggarakan penegakan hukum pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia adalah Wawasan Nusantara.

Berdasarkan AMDAL terdapat dua jenis batasan tentang dampak, yaitu:
a.       Dampak pembangunan terhadap lingkungan adalah perbedaan antara kondisi lingkungan sebelum ada pembangunan dan yang diprakirakan akan ada setelah ada pembangunan.
b.      Dampak pembangunan terhadap lingkungan adalah perbedaan antara kondisi lingkungan yang diprakirakan akan ada tanpa adanya pembangunan dan yang diprakirakan akan ada dengan adanya pembangunan tersebut. AMDAL suatu usaha atau kegiatan bersifat terbuka untuk umum dan diketahui oleh masyarakat serta pihak-pihak yang berkepentingan. Sebab sejak awal proses pembuatan dokumen AMDAL, melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkunga Hidup, Pasal 33 ayat (1) menyatakan : “Setiap usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib diumumkan. Terlebih dahulu kepada masyarakat sebelum  menyusun analisis mengenai dampak lingkungan hidup”.36 Sedangkan Pasal 34 ayat (1) menyatakan : “Warga masyarakat yang berkepentingan wajib dilibatkan dalam proses penyusunan kerangka acuan, penilaian kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup”.37
c.       AMDAL suatu usaha atau kegiatan yang berupa dokumen terdiri dari 3 bagian yang terdiri dari :
1.      Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KA-ANDAL)
Pengertian Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KAANDAL) terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkunga Hidup, Pasal 1 butir (3) yang menyatakan : “Kerangka acuan adalah ruang lingkup kajian analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang merupakan hasil pelingkupan”.38
2.      Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL)
Pengertian Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkunga Hidup, Pasal 1 butir (4) yang menyatakan : “Analisis dampak lingkungan hidup (ANDAL) adalah telahan secara cermat dan mendalam tentang dampak besar dan penting suatu rencana usaha dan atau kegiatan”.39
3.      Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL)
Pengertian Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkunga Hidup, Pasal 1 butir (5) yang menyatakan : “Rencana pengelolaan lingkungan hidup (RKL) adalah upaya penanganan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan” 4) Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) Pengertian Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkunga Hidup, Pasal 1 butir (6) yang menyatakan: “Rencana pemantauan lingkungan hidup (RPL) adalah upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak besar dan penting akibat dari rencana usaha dan atau kegiatan”. Pedoman penyusunan Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KA-ANDAL). Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL). Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) didasarkan kepada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia No. 14 Tahun 1994 tentang Pedoman Umum Penyusunan AMDAL, yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Pedoman Umum Penyusunan AMDAL adalah keseluruhan proses yang berturut-turut meliputi :
                        I.            Penyusunan Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KAANDAL).
                     II.            Penyusunan Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL).



PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2009
TENTANG
PENGELOLAAN AREA PASAR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

Menimbang : a. bahwa sejalan dengan perkembangan pembangunan kota Jakarta dan
pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin bertambah selain mengakibatkan
meningkatnya konsumsi masyarakat terhadap barang dagangan kebutuhan
rumah tangga, juga berpengaruh terhadap pelaksanaan pengelolaan area pasar
di wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;

b. bahwa berkaitan dengan hal tersebut dan dalam rangka terwujudnya
pelaksanaan pengurusan dan pengelolaan area pasar secara lebih
berdaya guna dan berhasil guna serta untuk meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat, perlu meninjau kembali dan mengubah serta
mengganti peraturan pengurusan pasar di Wilayah Daerah Khusus
Ibukota Jakarta sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah
Nomor 6 Tahun 1992;

c.  bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan huruf b, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Area Pasar;

Mengingat :        1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah jo Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan tidak berlakunya Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1962 Nomor 10 Tambahan Lembaran Negara  Nomor 238 jo Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2901);

2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851);
3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4844);
5. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4725);
6. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4744);
7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4866);
8. Peraturan Presiden Nomor 112 tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern;
9. Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 56 Tahun 1971, Nomor 103/KP/V/1971 tanggal 17 Mei 1971 jo.
Nomor 92 Tahun 1979 dan Nomor 409/KPB/V/1979 tentang Ketentuan-ketentuan Kewenangan dalam Memberikan Izin Tempat Usaha Perdagangan;
10. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1998 tentang Hukum Badan
Usaha Milik Daerah;
11. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 1999 tentang Kepengurusan Badan Usaha Milik Daerah;
12. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 153 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Barang Daerah yang dipisahkan;
13. Peraturan Menteri Perdangan Nomor 53/M-DAG/PER/12/2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern;
14. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1978 tentang Pengaturan Tempat dan Usaha serta Pembinaan Pedagang Kaki lima dalam Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Lembaran Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 1979 Nomor 15);
15. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1988 tentang Kebersihan Lingkungan Dalam Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Lembaran Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 1988 Nomor 31);
16. Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Lembaran Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 1999 Nomor 23);
17. Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Lembaran Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2002 Nomor 76);


Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI
DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
Dan
GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AREA PASAR.


BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :

1. Daerah adalah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
2. Pemerintah Daerah adalah Gubernur dan Perangkat Daerah sebagai penyelenggara pemerintahan daerah.
3. Gubernur adalah Kepala Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut Dewan adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
5. Anggaran Daerah adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
6. Perusahaan Daerah Pasar Jaya yang selanjutnya disebut PD Pasar Jaya adalah Perusahaan Daerah Pasar Jaya Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
7. Direksi adalah Direksi PD Pasar Jaya.
8. Direktur Utama adalah Direktur Utama PD Pasar Jaya.
9. Direktur adalah Direktur PD Pasar Jaya.
10. Badan Pengawas adalah Badan Pengawas PD Pasar Jaya.
11. Pengelolaan Area Pasar adalah pengurusan dan pengembangan pasar beserta fasilitas penunjang.
12. Pasar adalah area tempat jual beli barang dengan jumlah penjual lebih dari satu baik yang disebut sebagai pusat perbelanjaan, pasar tradisional, pertokoan mall, plasa, pusat perdagangan maupun sebutan lainnya milik Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang dikelola oleh Perusahaan Daerah Pasar Jaya.
13. Area pasar adalah area yang dimiliki dan/atau dikelola oleh PD Pasar Jaya berupa pasar beserta fasilitas penunjang.
14. Fasilitas penunjang adalah prasarana dan sarana yang langsung atau tidak langsung mendukung kegiatan pasar yang berada di area pasar antara lain perkantoran dan hotel.
15. Pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh pemerintah, pemerintah daerah, swasta, badan usaha milik Negara dan badan usaha milik Daerah termasuk kerja sama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, counter, los dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar menawar.
16. Pedagang adalah orang atau badan hukum pemakai tempat usaha yang berdasarkan izin pemakaian tempat usaha mempunyai hak memakai tempat usaha di pasar untuk memperdagangkan barang dan jasa.
17. Tempat usaha adalah tempat jual beli barang dan/atau jasa dalam area pasar.
18. Pemindahan hak adalah pengalihan hak pemakaian tempat usaha di pasar baik sementara maupun selama berlakunya hak pemakaian tempat kepada orang atau badan hukum .
19. Surat Izin Pemakaian Tempat Usaha adalah izin tertulis dari Direksi atas pemakaian tempat usaha di pasar.
20. Sertifikat Hak Pemakaian Tempat Usaha adalah bukti kepemilikan hak pemakaian tempat usaha yang berlaku untuk jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun yang dapat dijadikan agunan.
21. Hak Pemakaian Tempat Usaha adalah hak memakai tempat usaha di pasar untuk jangka waktu tertentu dengan kewajiban membayar hak pemakaian tempat usaha di pasar dan kewajiban lain yang ditetapkan oleh Direksi.
22. Hak Sewa adalah hak yang diberikan kepada seseorang dan/atau badan hukum untuk menggunakan tempat usaha dengan jangka waktu tertentu dan diikat dengan perjanjian.

BAB II
WEWENANG PENGELOLAAN AREA PASAR

Pasal 2

(1) Pengelolaan Area Pasar milik Pemerintah Provinsi DKI - Jakarta dilaksanakan
oleh PD Pasar Jaya;
(2) Pengelolaan Area Pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dikerjasamakan dengan pihak ketiga.

Pasal 3

Dalam melaksanakan pengelolaan area pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Direksi diberikan wewenang untuk menetapkan :
a. tempat-tempat sebagai pasar;
b. pembagian tempat dalam pasar;
c. jam buka tutup pasar;
d. batas wilayah pasar;
e. hak pemakaian tempat usaha;
f. jumlah kepemilikan hak pemakaian tempat usaha;
g. perpanjangan hak pemakaian tempat usaha;
h. penggunaan area dan bangunan pasar; dan
i. jenis dan pemanfaatan fasilitas penunjang.

Pasal 4

Selain kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Direksi berwenang,
menetapkan :
a. perubahan tata ruang dan desain peruntukan tempat dalam area pasar;
dan
b. perombakan, penambahan perubahan bentuk tempat usaha, perluasan dan
perubahan peruntukan tempat usaha dalam area pasar.

BAB III

KLASIFIKASI PASAR

Pasal 5

Klasifikasi pasar diatur berdasarkan kegiatan dan pelayanan yaitu :
a. sifat kegiatan dan jenis dagangan;
b. ruang lingkup pelayanan;

c. tingkat potensi; dan
d. waktu kegiatan.

Pasal 6

(1) Sifat kegiatan dan jenis dagangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 huruf a terdiri dari:
a. pasar eceran;
b. pasar grosir;
c. pasar induk; dan
d. pasar khusus.

(2) Ruang lingkup pelayanan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf b terdiri dari :
a. pasar lingkungan;
b. pasar wilayah;
c. pasar kota; dan
d. pasar regional.

(3) Tingkat potensi pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c
terdiri dari:
a. potensi pasar A;
b. potensi pasar B; dan
c. potensi pasar C.

(4) Waktu kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d terdiri
dari:
a. pasar siang hari;
b. pasar malam hari; dan
c. pasar siang malam.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai klasifikasi pasar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur atas usul Direksi. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai klasifikasi pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Direksi.


BAB IV

JENIS DAN SYARAT PEMAKAIAN TEMPAT
Bagian Kesatu
Jenis Hak Pemakaian Tempat


Pasal 7

(1) Jenis Hak Pemakaian Tempat dalam area pasar dapat berupa :
 a. Hak Sewa Tempat Usaha untuk jangka waktu tertentu; dan
 b. Hak Pemakaian Tempat Usaha untuk jangka waktu paling lama 20
(dua puluh) tahun.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak sewa dan hak pemakaian tempat usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direksi.

Bagian Kedua
Syarat Pemakaian Tempat

Pasal 8

(1) Setiap orang atau badan usaha yang memakai tempat usaha dalam area pasar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a, wajib menandatangani
perjanjian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Setiap orang atau badan usaha yang memakai tempat usaha dalam area pasar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b wajib memiliki Surat Izin
Pemakaian Tempat Usaha dan Sertifikat Hak Pemakaian Tempat Usaha.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pemakaian tempat
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Direksi.

BAB V

SUMBER PENERIMAAN

Pasal 9

(1) Setiap orang atau badan usaha yang memakai tempat dalam area pasar harus
membayar kewajiban yang besarnya ditetapkan oleh Direksi.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi sumber penerimaan
pengelolaan area pasar.
(3) Sumber penerimaan pengelolaan area pasar sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) meliputi:
a. penerimaan dari pemanfaatan area pasar;
b. penerimaan jasa administrasi;
c. hasil kerja sama;
d. penyertaan modal; dan
e. pendapatan lain yang sah.

Pasal 10

(1) Sumber penerimaan dari pemanfaatan area pasar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a antara lain meliputi :
a. pengelolaan pasar harian atau bulanan;
b. penjualan hak pemakaian tempat usaha;
c. perpanjangan hak pemakaian tempat usaha;
d. sewa tempat usaha;
e. jasa parkir;
f. jasa mandi cuci kakus (MCK);
g. jasa listrik;
h. jasa air dan telepon;
i. reklame dan Promosi;
j. pengelolaan pelataran/kaki lima; dan
k. penerimaan dari pengelolaan hasil usaha fasilitas penunjang.

BAB VI

KEWAJIBAN DAN LARANGAN

Pasal 11

Setiap orang dan/atau badan usaha yang memakai tempat usaha atau berdagang
dalam area pasar wajib :
a. menjaga keamanan dan kertertiban tempat usaha, menempatkan dan
menyusun barang dagangan berserta inventarisnya dengan teratur,
sehingga tidak mengganggu lalu lintas orang dan barang;
b. memelihara kebersihan tempat dan barang dagangan serta
menyediakan tempat sampah yang ditetapkan;
c. memenuhi kewajiban pembayaran tepat waktu berdasarkan ketentuan
yang berlaku;
d. menyediakan alat pemadam kebakaran dan mencegah kemungkinan
timbulnya bahaya kebakaran di tempat usaha masing-masing;
e. membuka dan menutup tempat usahanya pada waktu yang telah
ditentukan; dan
f. melaksanakan ketentuan pemakaian tempat yang berlaku dan kewajiban
lain yang ditetapkan.

Pasal 12
Setiap orang dan/atau badan usaha yang memakai tempat usaha atau berdagang
dalam bangunan pasar dilarang :
a. memiliki lebih dari 5 (lima) tempat usaha dalam satu pasar;
b. merombak, menambah, mengubah dan memperluas tempat usaha;
c. mengubah jenis jualan dan atau macam dagangan yang bertentangan
dengan persyaratan yang telah ditetapkan;
d. mengadakan penyambungan aliran listrik, air, gas, dan telepon;
e. bertempat tinggal, berada atau tidur di pasar di luar jam buka pasar;
f. menyalahgunakan narkotika dan minuman keras, melakukan perjudian
atau sejenis, usaha kegiatan yang dapat mengganggu dan
membahayakan keamanan dan ketertiban umum dalam pasar;
g. melakukan perbuatan asusila di dalam pasar;
h. mengotori, merusak tempat atau bangunan dan barang inventaris; dan
i. menempatkan kendaraan, alat angkutan atau binatang beban di luar
tempat yang ditentukan.

BAB VII

PEMBINAAN PEDAGANG


Pasal 13

(1) Direksi berkewajiban membina pedagang pasar.
(2) Pembinaan pedagang pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain
meliputi:
a. memfasilitasi kerja sama wadah para pedagang dalam kemitraan
dengan pihak lain baik pada upaya ketersediaan akses permodalan
maupun ketersediaan komoditas barang yang dijual di pasar;
b. memfasilitasi peningkatan kualitas pelayanan kepada konsumen
oleh para pedagang baik mengenai kualitas produk, higienitas,
takaran, kemasan, penyajian/penataan barang maupun dalam
pemanfaatan fasilitas pasar;
c. memfasilitasi peningkatan kualitas sumber daya manusia pedagang
baik melalui pendidikan, pelatihan dan penyuluhan;
d. memberikan hak prioritas kepada pedagang lama untuk
memperoleh tempat usaha yang baru hasil pembangunan;
e. setiap rencana pembangunan pasar yang mencakup rencana
bangunan, penempatan pedagang maupun harga tempat usaha
harus disepakati paling kurang 60% (enam puluh persen) pedagang
eksisting aktif yang dibuktikan dengan pernyataan tertulis di atas
materai;
f. memfasilitasi pemberian kredit bagi pedagang bekerjasama dengan
lembaga keuangan; dan
g. pada pasar-pasar yang baru dibangun, seluruh areal pasar seperti
lapangan parkir, lorong, koridor tidak diperbolehkan dipergunakan
oleh pedagang kaki lima.

BAB VIII

PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN

Pasal 14

Pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan pengelolaan area pasar
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB IX

SANKSI

Pasal 15

Setiap orang dan/atau Badan Usaha yang melakukan pelanggaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) sampai dengan ayat (3), Pasal 9 ayat (1), Pasal 11
dan Pasal 12 huruf a sampai dengan huruf e, huruf h dan huruf i dikenakan sanksi
administrasi melalui tahapan :
a. penutupan sementara tempat usaha;
b. pembatalan Surat Izin Pemakaian Tempat Usaha;
c. pembatalan Sertifikat Hak Pemakaian Tempat Usaha; dan
d. pembatalan perjanjian pemakaian tempat usaha.



PERATURAN WALIKOTA DEPOK
NOMOR 11 TAHUN 2012
TENTANG
PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KOTA DEPOK NOMOR 03
TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PASAR TRADISIONAL
PEMERINTAH KOTA DEPOK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA DEPOK,

Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 26 Peraturan Daerah Kota
Depok Nomor 03 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Pasar Tradisional Pemerintah Kota Depok, hal-hal yang belum diatur
dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai ketentuan teknis pelaksanaan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, perlu menetapkan Peraturan Walikota tentang Petunjuk
Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 03
Tahun 2012 tentang Pengelolaan Pasar Tradisional
Pemerintah Kota Depok;

Mengingat :  1. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1999 tentang Pembentukan
Kotamadya Daerah Tingkat II Depok dan Kotamadya Daerah
Tingkat II Cilegon (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3828);

2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851);

3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);

4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4355);

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua
atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4844 );

6. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 4438);

7. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038);

8. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 5049);

9. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5234);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4578);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);

12. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

13. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi
Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4741);

14. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4833);

15. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5161);

16. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 21 Tahun 2011;

17. Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 27 Tahun 2000 tentang
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Daerah Kota Depok
Tahun 2000 Nomor 27 Seri C);

18. Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 07 Tahun 2008 tentang
Urusan Pemerintah Wajib dan Pilihan yang menjadi Kewenangan
Pemerintah Kota Depok (Lembaran Daerah Kota Depok
Tahun 2008 Nomor 07);

19. Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 08 Tahun 2008 tentang
Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Daerah Kota Depok
Tahun 2008 Nomor 08) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 20
Tahun 2011 (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2011 Nomor 20);

20. Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 03 Tahun 2012 tentang
Pengelolaan Pasar Tradisional Pemerintah Kota Depok (Lembaran
Daerah Kota Depok Tahun 03 Nomor 2012);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan   : PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KOTA DEPOK
NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PASAR
TRADISIONAL PEMERINTAH KOTA DEPOK.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Peraturan Walikota ini yang dimaksud dengan :
1. Pemerintah Kota adalah Pemerintah Kota Depok.

2. Kota adalah Kota Depok.

3. Walikota adalah Walikota Depok.

4. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Koperasi, UMKM dan Pasar
yang secara teknis menangani urusan pemerintahan bidang Koperasi, UMKM dan Pasar Kota Depok.

5. Dinas adalah Dinas Koperasi, UMKM dan Pasar Kota Depok.

6. Pejabat yang ditunjuk adalah Pejabat yang diberikan
kewenangan oleh Walikota untuk mengelola pasar dan mendapat
pendelegasian wewenang dari Walikota.

7. Izin Prinsip adalah izin yang diberikan kepada pemohon untuk
menyelesaikan perizinan terkait dalam rangka mendirikan pasar.

8. Pasar adalah area tempat jual beli barang dengan jumlah
penjual lebih dari satu baik yang disebut sebagai,pusat
perbelanjaan, pasar tradisional, pertokoan, mall, plasa, pusat
perdagangan maupun sebutan lainnya.

9. Pasar Tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik
Negara dan Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerjasama
dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan
tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah,
swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil,
modal kecil dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui
tawar menawar.

10. Pasar khusus adalah pasar tradisional dimana barang yang
diperjual belikan bersifat khusus atau spesifik, seperti pasar
hewan, pasar burung, pasar bunga dan sejenisnya.

11. Pasar Sementara adalah pasar tradisional yang menempati
tempat atau areal tertentu yang diperbolehkan atau atas
persetujuan Walikota atau pejabat yang ditunjuk, dengan
bangunan tidak permanen atau tidak bersifat rutinitas.

12. Bangunan pasar adalah semua bangunan di dalam pasar dalam
bentuk apapun.

13. Kios adalah bagian dari bangunan yang satu sama lain dibatasi
dengan dinding serta dapat ditutup.

14. Los adalah bagian dari bangunan pasar yang merupakan
bangunan beratap, baik dengan penyekat maupun tidak, yang
digunakan untuk menjajakan barang-barang dagangan.

15. Tempat berjualan adalah tempat di dalam bangunan pasar atau
halaman pasar yang khusus disediakan untuk melakukan
kegiatan usaha berupa antara lain kios, dan los.
16. Pedagang adalah mereka yang memakai tempat untuk berjualan
barang maupun jasa secara tetap maupun tidak tetap di pasar
milik pemerintah daerah.

17. Pedagang tetap adalah pedagang secara terus menerus di pasar
dan di lokasi tertentu milik pemerintah daerah yang tetap dan
penggunaan tempat tersebut oleh pedagang yang bersangkutan
telah mendapat ijin resmi dari Walikota Depok.

18. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang
merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun
yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik
negara (BUMN), atau badan usaha milik daerah (BUMD) dengan
nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana
pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi
massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga
dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif
dan bentuk usaha tetap.

19. Pengelolaan pasar adalah pengelolaan manajemen secara
langsung oleh Pemerintah Kota terhadap pasar tradisional, pasar
khusus dan pasar sementara dalam bentuk pengawasan,
pengendalian dan pembinaan yang meliputi perlindungan,
penataan, dan pemberdayaan.

20. Penataan pasar adalah segala upaya yang dilakukan oleh
pemerintah kota untuk mengatur dan menata pasar tradisional
pemerintah kota meliputi pembangunan dan revitalisasi pasar.

21. Revitalisasi adalah proses rehabilitasi atau peremajaan
bangunan pasar.

22. Pemanfaatan pasar adalah pemanfaatan sarana dan prasarana
pasar oleh pedagang, pelaku usaha, dan entitas ekonomi
lainnya dalam bentuk penyewaan.

BAB II

BENTUK-BENTUK PEMANFAATAN PASAR TRADISIONAL
PEMERINTAH KOTA

Bagian Pertama

Prosedur Pemberian Surat Keterangan Pemanfaatan
Tempat Berjualan
Pasal 2



1) Pemberian Surat Keterangan Pemanfaatan Tempat Berjualan
(SKPTB), diberikan kepada orang atau badan hukum yang
menyewa kios dan los dengan prosedur dan syarat-syarat
sebagai berikut :

a. Mengajukan surat permohonan secara tertulis kepada Kepala
Dinas sebagaimana dimaksud pada form PPsr-7 dengan
melampirkan syarat-syarat sebagai berikut :
1) Kartu Tanda Penduduk (KTP);
2) Kartu Keluarga (KK);
3) Surat perjanjian jual beli atau sewa pemanfaatan tempat
berjualan;
4) Kwitansi atau tanda bukti pembayaran lunas pembelian
atau sewa pemanfaatan tempat berjualan.

b. Berkas permohonan izin yang masuk dan telah lengkap diberi
tanda terima dengan menggunakan form PPsr-6A, sedangkan
berkas permohonan yang belum lengkap dikembalikan ke
pemohon dengan form PPsr-6B selambat-lambatnya 2 (dua)
hari kerja setelah diterimanya permohonan tersebut disertai
penjelasan kekurangan persyaratan;

c. Atas dasar permohonan, Kepala Dinas melakukan penelitian
administratif dan pengecekan lapangan dalam jangka waktu
paling lama 3 (tiga) hari kerja, sejak diterimanya Surat
Permohonan yang hasilnya dituangkan dalam Berita Acara
Hasil Penelitian sebagaimana dimaksud pada form PPsr-2;

d. Atas dasar penelitian pada huruf c, Kepala Dinas atas nama
Walikota Depok dapat menerbitkan atau tidak menerbitkan
Surat Keterangan Pemanfaatan Tempat Berjualan, dalam
jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja sebagaimana
dimaksud pada form PPsr-8A dan form PPsr-8B;

e. Penolakan penerbitan Surat Keterangan Pemanfaatan Tempat
Berjualan (SKPTB) harus disertai dengan alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan.

(2) Surat Keterangan Pemanfaatan Tempat Berjualan (SKPTB),
berlaku sesuai dengan jangka waktu sewa, untuk sewa lebih dari
1 (satu) tahun wajib dilakukan registrasi ulang setiap tahun
dengan prosedur dan syarat-syarat sebagai berikut :

a. Pemegang hak mengajukan permohonan secara tertulis
kepada Kepala Dinas sebagaimana dimaksud pada form PPsr-
9 dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut :

1) Asli Surat Keterangan Pemanfaatan Tempat Berjualan;
2) Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku;
3) Kartu Keluarga (KK);

b. Atas dasar permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a,
dilakukan penelitian administratif yang hasilnya dituangkan
dalam Berita Acara Hasil Penelitian sebagaimana dimaksud
pada form PPsr-2;
c. Atas dasar hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada
huruf b, Kepala Dinas dapat menerbitkan atau menolak,
dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja
sebagaimana dimaksud pada form PPsr-10A dan form PPsr-
10B;
d. Penolakan atas penerbitan Surat Bukti Pendaftaran ulang
harus disertai dengan alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan.

(3) Apabila Surat Keterangan Pemanfaatan tempat Berjualan sudah
berakhir dan bangunan pasar secara teknis masih layak
dipergunakan untuk berdagang, maka pemegang hak
pemanfaatan tempat berjualan dapat mengajukan permohonan
perpanjangan hak kepada Walikota melalui Kepala Dinas
sebagaimana dimaksud pada form PPsr-11 untuk jangka waktu
sewa yang sama paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa sewa
berakhir, dengan syarat-syarat sebagai berikut :

a. Menyerahkan Surat Keterangan Pemanfaatan Tempat
Berjualan (SKPTB) asli;
b. Photo copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) pemohon yang
masih berlaku;
c. Kartu Keluarga (KK);
d. Membayar harga sewa kios atau los yang besarnya sesuai
dengan Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 11 Tahun 2012
tentang Retribusi Pelayanan Pasar;
(4) Setelah persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
terpenuhi, maka dibuat perjanjian sewa antara Pemerintah Kota
Depok dengan pemohon sesuai Peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Pasal 3
(1) Pemerintah Kota dapat melakukan revitalisasi pasar sebelum
habis masa berlaku sewa, apabila bangunan pasar tersebut
secara teknis sudah tidak layak atau tidak memungkinkan
untuk digunakan sebagai tempat berjualan dengan tetap
memberikan perlindungan terhadap pemegang hak pemanfaatan
tempat berjualan dengan memperhitungkan sisa hak sewa yang
bersangkutan.

 (2) Tata cara revitalisasi pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur sebagai berikut :

a. Melakukan penelitian dan pengkajian secara teknis yang
dituangkan dalam Berita Acara sebagaimana dimaksud pada
form PPsr-12 oleh Tim yang ditunjuk oleh Pejabat yang
berwenang yang menyatakan kondisi pasar tersebut tidak
layak lagi dipergunakan sebagai tempat berjualan;

b. Atas dasar pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a, dilakukan sosialisasi terlebih dahulu kepada
pedagang yang bersangkutan untuk realisasi pelaksanaan
revitalisasi pasar.

c. Apabila Hak Pemanfaatan Tempat Berjualan bagi para
pedagang di pasar tersebut masih ada, maka hak tersebut
akan diperhitungkan sesuai dengan sisa hak sewa yang
tersisa.

Pasal 4

(1) Hak atas penyewaan Kios, Los, Tempat MCK dan ruang/lahan,
tidak dapat dialihkan/dipindahtangankan kepada pihak lain
tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Kepala Dinas.

(2) Tata cara permohonan pengalihan/pemindahtanganan hak sewa
atas kios, los, tempat MCK dan ruang/lahan diatur sebagaimana
berikut :

a. Pemegang hak mengajukan permohonan secara tertulis
diatas materai cukup kepada Walikota melalui Kepala Dinas
Koperasi, UMKM dan Pasar Kota Depok sebagaimana
dimaksud pada form PPsr-13, dengan melampirkan syarat-
syarat sebagai berikut :

1) Menyerahkan Asli Surat Keterangan Pemanfaatan Tempat
Berjualan untuk kios dan los atau menyerahkan Asli
Surat Perjanjian Sewa untuk Tempat MCK dan
ruang/lahan;
2) Kartu Tanda Penduduk pemegang hak dan pembeli hak
pemanfaatan tempat berjualan;
3) Kartu Keluarga (KK) pembeli hak;
4) Pas Photo berwarna pembeli hak ukuran 3 x 4 cm;
5) Kuitansi tanda bukti pembayaran harga sewa kios, los
atau tempat MCK.

b. Atas dasar permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a,
dilakukan penelitian admnistrasi dan lapangan yang hasilnya
dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada form PPsr-2;

c. Berdasarkan Berita Acara sebagaimana dimaksud pada
huruf b, Kepala Dinas menerbitkan surat izin pemindahan
hak atas sewa atau penolakan dengan mempergunakan form
PPsr 14-A dan 14-B;

d. Apabila permohonan izin dikabulkan, kepada pemegang hak
baru diberikan Surat Keterangan Pemanfaatan Tempat
Berjualan (SKPTB) dengan jangka waktu selama sisa hak
yang pertama masih ada.

BAB III

PENCABUTAN DAN PENARIKAN HAK PEMANFAATAN
TEMPAT BERJUALAN
Pasal 6


(1) Para pemegang Hak Pemanfaatan Tempat Berjualan dan Kartu
Tanda Berdagang di Pasar Tradisional Milik Pemerintah Kota
Depok yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada
Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18 dan pasal 21 Peraturan
Daerah Kota Depok Nomor 03 Tahun 2012 atau pemegang hak
yang meninggalkan atau mengosongkan tempat berdagang
selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan yang jelas,
dikenakan sanksi berupa pencabutan hak untuk menempati
tempat berjualan oleh dinas.
(2) Tata cara pencabutan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diatur sebagai berikut :
a. Kepala Dinas memberikan Surat Teguran Pertama atas
pelanggaran yang dilakukan dengan jangka waktu selama 6
(enam) hari kerja sebagaimana dimaksud pada form PPsr-17;

b. Apabila Surat Teguran yang pertama tidak dilaksanakan,
maka Kepala Dinas memberikan Surat Teguran Kedua
dengan jangka waktu selama 5 (lima) hari kerja sebagaimana
dimaksud pada form PPsr-18;

c. Apabila Surat Teguran yang kedua tidak dilaksanakan, maka
Kepala Dinas memberikan Surat Teguran yang ketiga
(terakhir) dengan jangka waktu selama 3 (tiga) hari kerja
sebagaimana dimaksud pada form PPsr-19;

d. Apabila Surat Teguran yang ketiga tidak dilaksanakan juga,
maka Kepala Dinas mengeluarkan Surat Penutupan
Sementara dengan jangka waktu selama 7 (tujuh) hari kerja
sebagaimana dimaksud pada form PPsr-20;

e. Apabila selama jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja
sebagaimana dimaksud pada huruf d, pemegang hak tetap
tidak melaksanakan atau tidak memenuhi kewajibannya,
maka Kepala Dinas mengeluarkan Surat Pencabutan Hak
Atas Pemanfaatan Tempat Berjualan sebagaimana dimaksud
pada form PPsr-21 dan perintah pengosongan sebagaimana
dimaksud pada form PPsr-22, dengan jangka waktu
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
dikeluarkannya Surat Pencabutan Hak.

f. Setelah proses pencabutan hak dan pengosongan
sebagaimana dimaksud pada huruf e, Kepala Dinas dapat
mengalihkan Hak Pemanfaatan Tempat Berjualan secara
langsung kepada pihak lain yang membutuhkan, dengan
tetap memperhatikan ketentuan yang berlaku.

BAB IV

PENYELENGGARAAN PASAR KHUSUS/PASAR SEMENTARA
DI TEMPAT TERTENTU
Pasal 7

1) Penempatan pasar khusus/pasar sementara di tempat tertentu
berupa pasar malam/pasar mambo dapat diberikan oleh
Walikota sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Kota Depok, Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota Depok dan
Peraturan Zonasi, sepanjang tidak mengganggu ketertiban
umum dan keindahan kota dengan tetap berpedoman pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
pelaksanaannya dikerjasamakan dengan Pemerintah Kota.
(2) Tata cara izin atau penunjukan lokasi pasar khusus/pasar
sementara di tempat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur sebagai berikut :

a. Permohonan diajukan oleh perwakilan pedagang atau badan
hukum yang akan menyelenggarakan pasar khusus/pasar
sementara kepada Walikota melalui Kepala Dinas
sebagaimana dimaksud pada form PPsr-1;

b. Atas dasar surat permohonan sebagaimana dimaksud pada
huruf a, Kepala Dinas bersama-sama dengan dinas/unit kerja
terkait melakukan pengkajian dan penelitian yang hasilnya
dituangkan dalam Berita Acara Hasil Penelitian sebagaimana
dimaksud pada form PPsr-2;

c. Berdasarkan Berita Acara Hasil Pengkajian dan Penelitian
sebagaimana dimaksud pada huruf b, Kepala Dinas
menerbitkan rekomendasi dapat atau tidak dapat dikabulkan
permohonan penyelenggaraan pasar khusus/pasar sementara
di tempat tertentu kepada Walikota Depok dengan disertai
pertimbangan/alasan sebagaimana dimaksud pada
form PPsr-3;

d. Apabila penempatan pasar khusus/pasar sementara berada
diatas tanah Daerah Milik Jalan (DMJ), harus mendapat
rekomendasi dari Dinas Bina Marga dan Sumberdaya Air atau
instansi yang berwenang untuk itu;

e. Atas dasar rekomendasi dari Kepala Dinas diterbitkan surat
izin penyelenggaraan pasar khusus/pasar sementara atau
surat penolakan penyelenggaraan pasar khusus/pasar
sementara di tempat tertentu sebagaimana dimaksud form
PPsr-4A dan PPsr-4B;

f. Apabila pemohon telah mendapat izin prinsip atau izin lokasi
maka pemohon wajib membuat/memproses dokumen amdal
atau UKL/UPL dan izin mendirikan bangunan serta perizinan
lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.


BAB V

KETENTUAN PENUTUP
Pasal 8

(1) Materi-materi yang ada didalam form-form petunjuk
pelaksanaan ini dapat disesuaikan sesuai kebutuhan.

(2) Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan ini,
sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya akan diatur lebih
lanjut oleh Kepala Dinas.

(3) Pada saat Peraturan Walikota ini mulai berlaku, Peraturan
Walikota Nomor 15 Tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 23 Tahun 2003 tentang
Pengelolaan Pasar (Berita Daerah Kota Depok Tahun 2004
Nomor 14) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.